Translate

13 Okt 2022

Masa Depan PLTU & Amonia sebagai solusi

Pemerintah resmi melarang pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 September 2022.

Dijelaskan dalam Pasal 3 Ayat 1 Perpres, dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral.

Peta jalan percepatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat (a) pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, (b) strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan (c) keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya," tulus keterangan pasal 3 ayat 3.

Kemudian, di ayat berikutnya dijelaskan kalau pengembangan PLTU diperbolehkan, tapi harus memenuhi tiga hal sebagaimana yang tertulis dalam ayat 4, yaitu pengembangan PLTU baru dilarang kecuali untuk (a) PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.

Atau (b) PLTU yang memenuhi persyaratan sebagai berikut, pertama, harus terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, pengembangan PLTU harus berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan. 

Ketiga, pengoperasian paling lama sampai dengan tahun 2050.

Sementara, pada Ayat 5 tertulis, dalam upaya meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi listrik, PT PLN (Persero) melakukan percepatan pengakhiran waktu (a) operasi PLTU milik sendiri, dan/atau (b) kontrak Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) PLTU yang dikembangkan oleh Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dengan mempertimbangkan kondisi penyediaan (supply) dan permintaan (demand) listrik.

PLN Nusantara Power uji coba Co-Firing dengan Amonia di Gresik.

Dengan menggandeng IHI Corporation dalam penelitian, pengembangan hidrogen dan amonia sebagai bahan bakar pengganti batu bara (co-firing) untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang telah berhasil melakukan pengembangan teknologi sebesar 20 persen co-firing amonia di JepangPT PLN Nusantara Power (PLN NP) mulai melakukan uji coba co-firing pertama menggunakan bahan bakar amonia pada PLTU Gresik, Jatim di Unit 1 (100 MW), sebagai upaya menindaklanjuti program konversi bahan bakar rendah emisi karbon yang digencarkan pemerintah untuk mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dan menuju zero emisi pada 2060.

Dari hasil persiapan yang dilakukan, untuk keperluan uji bakar Low Cofiring Ratio (LCR) amonia di PLTU Gresik Unit 1 dibutuhkan sebanyak 150kg/jam dalam bentuk amonia tank, dan hingga Oktober 2022 PLN NP telah memproduksi energi bersih melalui co-firing sebesar 168.814 MWh.

Peneliti Temukan Cara Membuat Amonia Bahan Baku Pupuk dari Udara.

Telah ditemukan cara baru untuk menghasilkan amonia, dari udara menggunakan tenaga listrik, yang tidak meninggalkan jejak karbon. Salah satu peneliti kajian ini, Dr Bryan H. R. Suryanto mengatakan, mereka telah menemukan cara efektif untuk memproduksi amonia atau ammonia melalui proses elektrolisa, sehingga hanya diperlukan sebuah alat electrolyser dan tenaga listrik untuk proses produksinya. "Kami menemukan cara untuk mengkonversi udara menjadi pupuk menggunakan simple electrolytic device yang dapat dioperasikan menggunakan renewable electricity,"  kata Bryan.

Konversi udara ini akan menghasilkan amonia yakni dengan satu atom nitrogen yang terikat pada tiga atom hidrogen, tetapi kepadatan energinya berdasarkan volume hampir dua kali lipat dari hidrogen cair.   Sehingga amonia akan menjadi pesaing utama sebagai bahan bakar alternatif hijau dan lebih mudah dikirim dan didistribusikan.

Pada umumnya amonia sering dimanfaatkan sebagai bahan kimia berbau busuk dan beracun yang digunakan dalam pembersih rumah tangga, pupuk, juga bahan peledak, dan menyisakan emisi karbon pada pembuatannya. Akan tetapi, para peneliti menilai amonia merupakan bahan bakar terbarukan yang dapat terbuat dari Matahari, udara dan air yang dapat memberi daya pada dunia tanpa karbon.

Berikut beberapa efektivitas pembuatan Amonia dari udara menggunakan simple electrolytic device ini: 
1. Bisa dibuat di mana saja Selama ini, para peneliti mengatakan bahwa amonia, salah satu bahan baku pupuk ini, hanya bisa dihasilkan melalui Haber-Bosch process. 
Proses Haber adalah suatu proses fiksasi nitrogen artifisial dan merupakan prosedur industri utama untuk produksi amonia yang berlaku saat ini. Salah satu tindakan yang digunakan dalam proses Haber-Bosch untuk menghasilkan amonia yakni melalui suhu yang dinaikkan dengan cukup tinggi untuk dapat menghasilkan amonia atau NH3. Sehingga, proses menghasilkan amonia dengan cara ini hanya mungkin dilakukan di pabrik-pabrik besar menggunakan reaktor-reaktor raksasa. Namun, Bryan menjelaskan, dengan teknologi simple electrolytic device yang mereka buat, kini membuat ammonia di daerah di mana pupuk dibutuhkan seperti sawah, greenhouse, hidroponik, pabrik farmasi atau rumah sakit jadi memungkinkan. Menurut Bryan, hal ini dikarenakan alat electrolytic pada umumnya bisa didesain sangat kompak dan kompleks.

2. Revolusi cara produksi pupuk Diakui Bryan, kalau secara teknis, sebenarnya teknologi Li mediated Ammonia synthesis sudah ada sejak tahun 1990-an. Akan tetapi, sistem yang ada tidak mampu beroperasi lebih dari 3 menit. Sistem yang dibuat para peneliti ini pun mampu mengatasi masalah tab dan dapat dioperasikan lebih dari 3 menit. "Nah, yang membuat ini jadi mungkin adalah temuan kami, menggunakan garam phosphonium sebagai "proton shuttle". Sehingga, teknologi kami mungkin akan merevolusikan cara pupuk di produksi, distribusi dan di aplikasikan," jelasnya. Sebab, pupuk tidak harus lagi di produksi di pabrik, dihantarkan dengan mobil ke tempat penggunaan. Tetapi, bisa langsung diproduksi di tempat yang membutuhkannya.

3. Tidak meninggalkan jejak karbon Dalam upaya mengendalikan terjadinya perubahan iklim, salah satu tindakan yang tegas ditekan adalah upaya-upaya yang dapat menghasilkan emisi karbon. Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia pada tahun 2015.  Dalam Perjanjian Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29-41 persen pada tahun 2030, dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa. Sumber emisi karbon terbesar di dunia termasuk di Indonesia ada beberapa sektor seperti deforestasi hutan dan lahan gambut, karbon buangan kendaraan bermotor, kebakaran, limbah pabrik, pertanian dan juga sektor industri. Proses Haber-Brosch dalam proses pembuatan amonia biasanya menggunakan hidrogen dari natural gas, sekitar 1,5 persen CO2 yang setiap tahun dihasilkan oleh manusia, berasal dari proses tersebut. Angka ini sangatlah signifikan, apabila kita berupaya untuk mengurangi jejak karbon. "Apabila kita menggunakan teknologi electrolyser (simple electrolytic device), kita dapat menghasilkan H2 dari proses elektrolisa air. Sehingga tidak ada jejak karbonnya," tegasnya. Adapun, untuk udara yang bisa dikonversi harus disaring terlebih dahulu menjadi N2 murni. "Tapi itu sudah bisa dilakukan dengan alat yang ada," ujar Bryan.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar